LELABUHANÉ GUBERNUR JAWA TIMUR I R.M.T.A.SURYO

Posted by Suparto Brata

Menceritakan riwayat hidup RMTA Suryo sejak jadi Bupati di Magetan zaman diduduki Jepang, lalu jadi Syucokan di Bojonegoro, lalu menjadi Gubernur Jawa Timur di Surabaya menghadapi pasukan Inggris pimpinan Maj.Gen.E.C.Mansergh yang mengultimatum akan menggempur Kota Surabaya dari laut, darat dan udara ....

GEDHONG SETAN (‘t SPOOKHUIS)

Posted by Suparto Brata

Cerita misteri tentang Gedung Setan di Pasarkembang Surabaya pada zaman Belanda. Hampir semua studen HBS bangsa Belanda pada percaya dengan adanya setan di Gedung Setan, tetapi malah Totje yang orang Jawa tidak percaya. Maka Totje dijadikan pertaruhan berani-tidak masuk ke gedung itu pada malam hari Jumat Kliwon. Tantangan tadi diterima oleh Totje, dia akan masuk dan harus memperoleh bukti bahwa dia betul-betul masuk gedung tadi.

Gedhong Setan

NONA SEKRETARIS

Posted by Suparto Brata

Peradaban manusia menurut futuristik Alfin Toffler, dibagi jadi 3 gelombang prahara. Yaitu Abad Pertanian, Abad Industri, dan Abad Informasi. Mengikuti pembagian tadi maka cerita roman Nona Sekretaris ini tergolong lelakon yang terjadi pada akhir Abad Industri. Abad Informasi sedang akan mulai. Siaran TV hanya ada TVRI. HP belum ada, telepon rumah masih sangat terbatas.

Nona Sekretaris

CINTRONG PAJU-PAT

Posted by Suparto Brata

Luhur direktur muda perusahaan iklan di Jakarta dijodohkan dengan Abrit Mayamaya, bintang senotron. Sebetulnya masih sama-sama mau mempertimbangkan keputusannya, saling menyelidik pribadi lawan masing-masing. Di kantor periklanan menerima karyawati baru bernama Lirih Nagari yang dikaryakan pada bidang komputer. Karena jaringan komputer sering rusak Lirih membawa ahli teknik Trengginas untuk memperbaiki jaringan komputer di kantornya.

PAWÈSTRI TANPA IDHÈNTITI

Posted by Suparto Brata

Panuluh direktur utama PT.Frozenmeat Raya yang mengimport daging beku dari Australia kepergok kena rasia operasi penyakit masyarakat oleh kepolisian sedang berkencan dengan perempuan di hotel. Dirasia polisi perempuannya terkejut, tak sadarkan diri. Oleh Panuluh ditolong, dibawa ke rumah sakit. Sembuh, sadar, tapi amnesia, sama sekali tidak ingat riwayat hidupnya. Maka dipanggil saja dengan nama Pawèstri.

DONYANÉ WONG CULIKA

Posted by NdyTeeN On Mei - 25 - 2009

Ini cerita Jawa. Bahasa Jawa, rasa Jawa, pikiran Jawa di Tanah Jawa abad 20. Ini cerita orang Jawa di desa, di sawah, di kota, di rumah kampung, di rumah gedung, di hotel, di guest-house, di istana raja. Ini cerita penghidupan Sabar kusir dokar, Wongsotukiran yang gugontuhonen, Nini Sali janda tua tanpa keluwarga, Barman si penjual kelapa, Painem bocah kurus penyakitan, Dalimin yang setia kepada majikan bangsawannya, Kariya Mentes petani yang usaha perusahaan batu bata.....

Sunday 1 February 2015

Buku Sastra Jawa anyar Suparto Brata 2015

Srawungku Karo Sastra Jawa Iki buku kumpulan lelabete, lelakone, conto tulisane para jamhur sastra Jawa modern sing kasrawungan dening Suparto Brata. Kaya ta Winter (Kejawen 1864), M.Ng.Kramapawira (1874), S.Darsono 1930 bab Dedalane Guna Lawan Sekti. Dr.Soetomo (Panjebar Semangat Setu 2 September 1933). Polemik Dr.Soetomo vs S.Ajat, Hoofdredacteur DAGBLAD “EXPRES” 16 Des 1930 lan 1 Juli 1938. Lelabete Tajib Ermadi ngedegake Djojobojo ing Kediri 1945, mlebu Surabaya pas 10 November 1945, bisa nggawa mulih klise lan leter duweke NV.de Brantas sing nyithak Suara Asia jaman Nippon.Cerkake Soebagio IN (Pandji Poestaka 15 Maret 1944, Nyoewoen Pamit Kyai). Poerwadie Atmodihardjo (Dara Kapidara, Djaja Baja, April 1964), Sar BS (kondhang Sang Prajaka, Djaja Baja). M.Radjien, Basoeki Rachmat, Soenarno Sisworahardjo, Any Asmara, Widi Widayat, Satim Kadarjono, Totilawati Tjitrawasita, St.Iesmaniasita, Esmiet. Agustus 1966 Hardjono HP, Susilomurti, Handung Sudiyarsana madeg OPSD ing Sanggar Bambu Jogyakarta. Drs. Gendon Humardani ngelola PKJT ing Sasanamulya 1977-1980. Muncul para jamhur sastra Jawa: N.Sakdani Darmopamudjo, Poer Adhie Prawoto, Ruswandiyatmo, Sukardo Hadisukarno, Anjar Any, Moh. Nursahid Purnomo, Arswendo Atmowiloto, Sudharmo KD, Muryalelana, Tamsir AS. Bambang Widoyo SP. Kabeh lelabetan lan conto karyane kapacak ing buku iki. Regane Rp 70.000,- Bisa dipundhut marang Rini T.Puspohardini, email: tripuspohardini@gmail.com HP +628157704313
Selanjutnya.....

Tuesday 14 October 2014

Selanjutnya.....

Sunday 31 August 2014

foto

Selanjutnya.....

Tuesday 14 September 2010

Roti & Susu Penopang Sehat

Roti dan susu yang dikenal sebagai panganan wong londo, telah dijadikan makanan pokok Suparto Brata sejak 58 tahun lalu. Tingginya kadar protein dan serat, menjadikan produk olahan tepung itu sebagai ’bahan bakarnya’ dalam berkarya.

Banyak orang tua yang ingin menikmati hidup di usia senja dengan berleha-leha. Tidak demikian halnya dengan Suparto Brata. Pensiunan pegawai negeri sipil Pemkot Surabaya ini, memilih terus berkarya sebagai penulis, saat usianya sudah mencapai 78 tahun, 27 Februari lalu.

Arek asli Surabaya ini dikenal sebagai penulis cerita bersambung dan cerita pendek berbahasa Jawa. Ia juga jago dalam menulis novel berbahasa Indonesia.

Diakuinya, untuk bisa tetap berkarya sampai tua, diperlukan stamina dan kesehatan prima. “Meski cuma membaca dan menulis yang notabene tidak butuh keluar rumah, tetap saja saya butuh energi cukup,” ucapnya.

Otomatis, lanjutnya, bila menulis atau pun membaca dia harus kuat duduk berlama-lama di meja. Menyadari pentingnya kesehatan, sejak mulai bekerja sebagai loper koran ketika masih duduk di SMP, dia mengubah pola makannya.

Ayah dari 4 anak ini membiasakan diri memakan roti tawar dan segelas susu. Kebiasaan tersebut pun terus berlanjut hingga saat ini. Bahkan, meski memiliki lidah Jawa, dia mengaku lebih menyukai roti tawar daripada nasi.

“Setiap pagi saya makan roti tawar 2-4 buah dan segelas susu rendah kalori,” tuturnya. Meski demikian, dia tetap mengonsumsi nasi pada waktu siang hari dan malam hari. Itupun dibatasi hanya 1 entong (sendok nasi) saja.

Menurut buku-buku yang pernah dibacanya, roti tawar memiliki kandungan gizi sangat besar. Bahkan, produk olahan dari tepung ini lebih unggul nutrisinya dibandingkan nasi dan mie. Saat ini pun banyak jenis roti yang melengkapi nilai gizinya. Selain diperkaya serat, juga mengandung omega-3 untuk menangkal berbagai penyakit degeneratif. “Empat buah roti tawar menghasilkan kalori sama dengan sepiring nasi,” ujar kakek 8 cucu ini.

Kadar protein roti juga lebih tinggi dibanding nasi. Kandungan protein roti sebesar 13 %, sedangkan nasi hanya 4 %-8 % saja. Artinya, dengan 2 roti saja tubuh bisa menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk beraktivitas.

Sementara untuk susu, menurutnya sangat berguna bagi tulang. ”Saat menulis bisa seharian saya duduk, kalau tulang tidak bagus bisa sakit semua nanti,” katanya sambil tertawa.

Selain mengatur pola makan, pria yang masih aktif mengisi berbagai seminar bahasa Jawa ini juga rajin melakukan olahraga ringan setiap pagi. ”Untuk menggerakkan otot-otot supaya tidak regang, saya jalan-jalan di sekitar komplek perumahan saja,” katanya.

Setiap hari dia bangun tidur sekitar jam 03.00 WIB. Aktifitasnya dimulai dengan menulis apa saja yang ada difikirannya. Jika waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 WIB dia jalan-jalan. Tak lupa dia menyiram 40 pohon Jamblang (Juwet) yang di tanamnya di sepanjang jalan komplek.”Lumayan buat pemanasan dalam menggerakkan tubuh, walau sepele itu sudah termasuk olahraga,” ungkapnya.

Diakuinya, semenjak istrinya meninggal pada 2002 silam, dia sendirilah yang mengatur perilaku hidupnya agar tetap sehat. Dia tak mau merepotkan anak-anaknya yang semuanya sudah berkeluarga, meski salah satunya tinggal serumah dengannya. ”Karena makan saya tidak neko-neko, cukup roti tawar, saya membelinya sendiri dari pedagang keliling yang berjualan di komplek rumah setiap pagi,” tuturnya.

Pengalaman spiritual tak luput ia rasakan dalam hidupnya. Ia mengaku mendapat banyak anugerah, salah satunya menulis yang merupakan amanah dan harus dijalankannya.”Mendapatkan kesehatan, bebas memilih dan masih mampu berkarya merupakan anugerah terindah dari Tuhan,” ungkapnya.m11

Diambil dari Surabaya Post Online
Selanjutnya.....

Sunday 1 August 2010

JAMAN AKU LAN PUTUKU

Subuh, aku tangi. Putuku telu, SMA, SMP lan SD wis upyek nonton TV. “Dilirihke swarane! Eyang sholat!” pambengoke anakku wedok. Aku menyang jedhing. Bar subuhan aku njinggleng ing ngarep komputer, ngarang. Swarane TV wis bantas maneh. “Ayo, gage padha sholat!” pambengoke mantuku lanang, bapake bocah-bocah. “Sik!” wangsulane putuku meh bareng. “Subuhe selak entek,” mantuku saya sereng. “Sik, dhiluk engkas! Bar iki, lo!” SMA semaya.

Meh saben-saben mengkono kuwi. Mangka ora dina prei sekolah. Anak lan mantuku esuk ngono ya uwet nandangi urusan ngomah sadurunge padha budhal kantor. Ngontrol anak-anake ya yen sempat. “SMA, wis sholat?” mantuku takon. “SMP, adus, wis awan!” jare anakku. Wangsulane rena loro, “Wis!” utawa “Sik!”, lan tetep padha nonton TV. “Kok wis, ki? Kapan?”. Jawabe SMA, “Iki mau ndhik kamar!” Dene SMP diwaoni ibune, “Kok ora krungu gebyar-gebyure adus. Adus bebek, ya? Ora gebyur?” Si SMP mangsuli ngotot, “Uwis, kok!”

Dinane padhang. Padha arep sekolah, lan budhal kantor. SMA nggandholke SMP. SD melu mobile bapak-ibune. “Mbok sepedhah montormu kuwi diresiki, ta, SMA. Mosok bar kodanan ngono, blethoke ngregeti mesin, ora dilapi blas!” Diwangsuli, “Ya engko dakcucekne. Endi dhuwite?” Lan ibune menehi dhuwit kanggo nyucekake sepedhah montor.

Padha brangkat, kari aku karo pembantu wadon siji tinggal ing ngomah. TV mati.

Aku biyen, sekolah SMP jaman perang ing kutha pengungsen, esuk umun-umun wis nyapu latar ngarep. Ibuku uwet neng pawon. Kangmasku nyapu jogan. Saomah ya wong telu kuwi. Mula yen ora padha tandang gawe ngurusi omah, ya laku ngrumat bale somah ora bisa kepenak. Aku ngiseni kolah jedhing, yen ora dakiseni apa bisa padha adus gebyar-gebyur? Ibu mangsak, yen ora apa aku lan kangmasku bisa madhang ing ngomah? Kangmas nyang kantor oleh blanja, yen ora apa bisa keluwargane kene oleh dhuwit? Dadi wong telu nglakoni madeg bale somah, gotongroyong saling ngiseni lowonge gawe. Dinane padhang, kangmas budhal kantor mlaku, kantore cedhak. Aku nyrebeti sepedhahku dhisik nganti resik tenan. Yen rantene garing daklengani, ben genjotane penak. Lan banjur budhal sekolah, pamit sibu, “Dalem sekolah, Bu!”

Awan SMA lan SMP teka. Mlebu omah, langsung njejak petekan listrik ing ngisor meja nganggo pucuk sepatune, nyetel TV. Lungguh madhep TV karo cucul sepatu. SMA nusul sawise nyelehke sepedhah montore. Swara TV dadi rame angger putu-putu padha neng ngomah. Ora tau leren. Melek mripat, melek TV. Madhang barang, padha nggawa piringe neng ngarep TV. Nontone cedhak banget, watara sakmeter saka layar TV. Wis padha nganggo kacamata. Embuh priye nalar sebabe, nonton TV cedhak akibate terus nganggo kacamata, apa supaya nonton TV cetha mergane mripate wis bawur dhisik mula kudu nganggo kacamata. Gek suwarane TV bantase eram. Yen ana ibu bapake, kerep wae dilaruhi, “Swarane dilirihke!” Ya banjur lirih, sedhela. Ora suwe diremote dipijeti swarane TV bantas maneh. “Dilirihke!” pambengoke ibune maneh. Ngono kuwi wis ajeg-ajegan.

Aku biyen ing pengungsen, sekolah SMP ora nganggo sepatu. Mulih saka sekolah tekan ngomah menyang jedhing dhisik, wisuh sikil wisuh tangan, lagek mlebu ngomah. Terus salin klambi bedinan. Lagek menyang lemari makan, njupuk sega lan lawuh, terus dakgawa menyang meja, madhang neng kono, piring diseleh ing meja.

Yen minggu, mesthine padha neng ngomah. Nanging kerep wae anak lan mantuku ana acara liya ing njaban omah, upamane pengajian apa arisan keluwarga. Wiwite dina ya pancet kaya adat saben. Subuh aku tangi, putu-putu wis udreg menthelengi TV. “SMA, SMP, sholat!” Diwangsuli, “Sik!”. Karepe mengko dhisik, acara TV-ne lagi muyek, ora bisa ditinggal. Yen nganti ketilap, ya rugi banget. “Wektune sholat selak entek!” udrege bapake. “Sik, ta! Sedhiluk engkas iki, lo!” wangsulane sentak.

Merga dina minggu, ora sekolah, ora kesusu adus barang. Mula dilaruhi ibu-bapake supaya adus dhisik, wangsulane putu-putuku ya padha wae, “Sik!” Sidane ibu-bapake padha lunga arisan, putu-putu ya padha durung mingket saka nonton TV. Dikontrol ditakoni wis sholat, wangsulane “Wis! Neng kamar mau!” Yen prekara adus ora ditakokake, wong pancen ora sekolah, ora kudu adus dhisik. Nganti jam siji utawa jam loro awan ibu-bapake mulih saka arisan apa pengajian, putu-putuku ya padha durung adus. Ora mingket saka nonton TV. Wong nyatane ora adus ya bisa kepenak wae nonton TV. Lan ora sah melu nyaponi omah, ora sah melu mangsak, ya ora kecingkrangan apa-apa. Madhang ya kari njupuk piring lan sega salawuhe terus digawa neng ngarep TV, ya ora kecingkrangan apa-apa, bisa nonton TV kanthi kepenak. Ibu-bapake padha ngaso neng kamar, nganti asar, putu-putu ya ora leren nonton TV. “Wis sholat asyar?” Wangsulane mung rena loro, “Sik!” utawa “Wis!”. Nglanjak sore padha dilaruhi, “Ayo, padha adus dhisik!” Wangsulane mung rena loro, “Sik!” utawa “Wis!”. Kerep wae daktiteni, aduse tenan jam wolu bengi, sawise nonton TV wiwit subuh mau. Nyatane ora adus sedina ya ora kecingkrangan nonton TV.

Aku wis tau elik-elik. “Wong arep UAS apa UNAS ngono, lo, mbok sinau. Mbok maca-maca buku. Aja nonton TV wae. Buku kuwi cendhelane donya, lo!” Diwangsuli karo putu-putuku, “Lo, Eyang, TV kuwi ya cendhelane donya, lo! Ora sah maca buku, nonton TV ya ngreti kahanan saindenge donya. Gek ora rekasa kudu njlimeti seneng maca lembaran buku barang. Blajar maca wae ya wis kangelan. Enak nonton TV. Seneng nonton TV wis marem tenan! Urip kuwi nonton TV. Sinau utawa maca buku ngono barang kuwi mung ngridhuhi urip wae.”

Aku biyen, urip ing kutha pengungsen jaman perang nglawan Walanda, yen arep ulangan umum ngono, wahdhuh, sinauku ngapalake rumus-rumus aljabar utawa taun-taun sejarah ndremimil. Dalil ilmu ukur, dua segitiga sama dan sebangun kalau dua garis dan sudut apitnya sama. Ngono kuwi kudu apal, lan kudu bisa mbuktekake yen padha. Perang Diponegoro taun 1825-1830, Herman Daendeles iku gawe dalan saka Anyer nganti Penarukan taun 1811. Ngono barang kuwi kudu apal tenan, mengko diujekake ing ulangan umum, kudu bisa njawab tinulis. Tanganku kudu nulis jawabane kuwi.

“Lo, Yang, aku nonton TV ya ngreti Komjen Susno Duadji ditawan pulisi. Bentrok Mbah Priok mateni Satpol PP telu. Kuwi rak ya sejarah. Yen ditakokake ing UNAS aku kari mbunderi A apa B. Ora sah kangelan nenulis barang. Apa perlune bisa nenulis, wong ora nenulis jawaban ing UNAS ya bisa lulus,” bantahe SMA.

Sabanjure aku ya ora elik-elik maneh marang putu-putu anggone padha nonton TV. Wong urip kuwi nonton TV. Sarana nonton TV sepedhah montore bisa resik dhewe. Sarana nonton TV carane selibriti kawin pegat bisa ditiru lan disinau, disiasati, nulari watege putu-putuku. Kuwi kabeh merga kemajuane tehnologi. Kemajuane tehnologi saiki pancen dadi jamane para putuku, dudu jamanku biyen. Aku ora bisa tansah elik-elik utawa maoni. Aku kudu nrima, ora bisa nglawan majune tehnologi. Bisaku matrapake kemajuan tehnologi ya mung anggonku bisa ngengarang ing komputer kanthi kepenak, ora kaya jamanku biyen kudu nggethu nulis tangan lan banjur dakketik tak-tek pirang-pirang lembar. Bareng ana sing salah, kudu daksetip utawa nggunting-nempel sing ngrekasa banget. Kemajuan tehnologi kang mengkono, ngenakake uripe manungsa, kudu daksyukuri.

Kajaba nyukuri majune tehnologi, aku ya mung bisa ndedonga. Muga-muga ing jaman-jaman uripe putu-buyutku mbesuk, kemajuan tehnologi kuwi bisa banget ngepenakake uripe manungsa sapadha-padha. Muga-muga jaman mbesuk, kemajuan tehnologi kuwi sarana nonton TV bisa dianggo golek sandhang-pangan lan papan. Sarana nonton TV umure manungsa bisa luwih saka 100 taun. Sarana nonton TV bisa urip ing demensi papat, yakuwi ora ana lete ruwang lan wektu. Saiki ana Blitar, saiki bisa menyang Surabaya tanpa lelungan tanpa mbuwang wektu. Jleg tekan, sakuwat iku uga. Kuwi urip ing demensi papat. Muga kemajuan tehnologi nonton TV bisa mengkono. Sarana nonton TV bisa oleh bojo, lan nglairake generasi anyar. Malah bisa wae kanthi kemajuan tehnologi, ora sah sholat, ora sah naik haji, bisa munggah surga.

Nanging kuwi kemajuan tehnologi jaman mbesuk. Saiki durung. Jaman saiki, kepengin nggayuh urip sing kepenak tembe mburi, aku isih perlu lan dakperlokake lunga umroh. Kemajuan tehnologi jaman saiki durung bisa nyandhak lunga umroh mung sarana nonton TV. Kuwi daksyukuri banget. Marga aku saiki wae, nonton TV wae wegah banget. Kemajuan tehnologi nonton TV ora bisa dakenggo ngepenakake uripku. Malah dadi gorehe atiku.

*

(cuthel)

Dipacak ing: Majalah JAYA BAYA no. 46 Minggu III Juli 2010.

Selanjutnya.....

Friday 18 June 2010

Email dri Mayang

From: Mayang
Subject: Surat dari Jakarta (Mayang)
To: sbrata@yahoo.com
Date: Thursday, June 17, 2010, 10:43 PM

Halo kakek Suparto Brata,

Apa kabar? Semoga kakek sehat selalu. Aku dan keluarga di Jakarta pun baik-baik saja.
Sudah lama tidak menerima surat dari kakek. Tetapi secara berkala aku mengunjungi blog supartobrata.com.
Menyenangkan mengetahui bahwa kakek masih aktif menulis, dan khususnya ikut andil dalam zaman internet.
Juga melihat posts dari orang-orang yang memiliki ketertarikan dalam bidang sastra Indonesia.
Semoga semakin banyak orang dapat mengapresiasi keindahan karya-karya negeri kita, ya, kek.

Sekedar informasi, aku baru saja lulus dari SMA. Sekarang aku akan masuk ke sekolah penyetaraan di BSD selama 9 bulan.
Kemudian tahun depan, apabila Tuhan mengatakan "Ya!", aku berangkat ke Jerman untuk bersekolah di sana.
Doakan saja ya, kek. Semoga aku mampu menjadi yang terbaik untuk Indonesia.

Karena sibuk menyiapkan ujian dan lain-lain, aku menjadi sangat jarang membaca buku dan ke toko buku.
Aku bahkan tidak tahu apakah kakek sudah meluncurkan buku baru lagi atau tidak.
Tetapi yang kutunggu-tunggu ialah terutama buku berbahasa Indonesia, karena aku pun tidak mengerti bahasa Jawa.
Kulihat kakek banyak menulis buku berbahasa Jawa, ya, akhir-akhir ini?

Akhir kata, aku mendoakan supaya kakek dan keluarga mendapatkan rahmat kesehatan dari Yang Maha Esa.
Selain itu, juga menunggu kabar baik dari kakek di Surabaya.
Salam,

Mayang


NB
: Atau jangan-jangan sudah lupa, Mayang yang mana? Hehe. Semoga ingat.

Selanjutnya.....

Wednesday 5 May 2010

NOVEL BERLATAR SEJARAH

Judul: Republik Jungkir Balik, Sebuah Novel Berlatar Belakang Perang Kemerdekaan. Penulis: Suparto Brata, Penerbit: Narasi 2010, tebal: 392 halaman.
Republik Jungkir Balik merupakan novel dengan bingkai sejarah tahun 1947. Novel itu menceritakan situasi di Kota Probolinggo, umumnya Indonesia, dan perjuangan rakyatnya pada saat menghadapi perang melawan penjajah Belanda. Dikisahkan pada tahun 1945 di Surabaya, diperkirakan lebih dari seratus ribu penduduk terpaksa mengungsi ke luar kota hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh karena panik. Kesengsaraan yang diderita para pengungsi tersebut berlanjut selama berbulan-bulan sebelum mereka berani kembali ke kota yang telah hancur.
Keluarga Kartidjo merupakan salah satu dari pengungsi tersebut. Di tempat pengungsian itu, mereka kenal dengan keluarga Saputra, seorang tukang catut yang mengawini mantan pelacur dari Kampung Tetes bernama Sumini. Kesulitan hidup menbuat kedua keluarga ini masuk dalam konflik kehidupan yang pelik. Senasib sepenanggungan, mereka berjuang mempertahankan hidup.
Dalam novel ini dikisahkan pula pergolakan antara nilai nurani dan kemanusiaan, yang menyuguhkan cerita pembunuhan, pelacuran, dan lainnya, sebagai dampak dari peperangan. Juga banyak melibatkan tokoh yang berasal dari berbagai etnis, seperti Madura, Jawa, dan Tionghoa. Bagaimana kisah Kartidjo selanjutnya dalam menjalankan hidupnya? Kisah fiktif yang dibebani data dan fakta sejarah. (Nia K. Suryanegara, Pusat Data Redaksi).
Dikutip dari PIKIRAN RAKYAT Sabtu, 24 April 2010. Selanjutnya.....
 

Template by NdyTeeN