Saturday 20 February 2010

Bahasa Ibu Interanational




Selanjutnya.....

Thursday 18 February 2010

INSPIRASI MYRA KETIKA KETEMU SUPARTO BRATA

Oleh: Veronica Myra Wijaya

Kakekku meninggal dunia 5 bulan yang lalu. Kami sekeluarga sangat sedih karena kakek meninggal dengan tiba-tiba akibat serangan jantung dan karena faktor usia. Kakek meninggal tepat ketika saya sedang mengikuti Ujian Akhir Semester 4 di hari yang terakhir. Setelah ujian usai, kami sekeluarga langsung memutuskan untuk pulang ke Bali. Kami tidak sampai melihat saat-saat terakhir kakekku di dunia, karena ujianku saat itu belum selesai

Kakekku orang yang banyak berjasa di Singaraja. Ia termasuk 13 daftar orang penting di sana. Kakekku sudah pernah dimuat pada suatu majalah di Bali. Ketika kembali kuliah, aku berniat ingin membuat sebuah buku biografi untuk kakekku untuk mengenangnya. Ketika muncul tugas “Personal Branding” di semester 5, keinginan membuat buku biografi kakek kian menguat. Tapi sayang kakekku sudah tiada, sehingga aku tidak bisa mengangkatnya dalam tugasku. Yang di-branding harus seseorang yang masih hidup, agar bisa menginspirasi orang-orang yang membaca “Personal Branding” tugasku.

Sebelum liburan aku mengusahakan supaya aku sudah menemukan seorang tokoh yang menginspirasiku dan nantinya juga bisa menginspirasi orang-orang di sekitarku. Lalu setiap hari kubuka setiap situs di internet. Semula tentang olahraga, karena aku ingin mengangkat tema ini. Kemudian saya terus mencari dan membuka semua situs yang berhubungan dengan Kota Surabaya, karena saya memang berniat memilih tokoh di Surabaya agar nantinya saya bisa mengunjungi tokoh tersebut dan bisa mendapatkan banyak informasi dari beliau.

Sampai suatu ketika tanpa sengaja saya menemukan sebuah nama Suparto Brata. Saya mencoba mengetik namanya dalam google search wah ternyata wajahnya langsung terpampang di sana. Banyak sekali artikel yang membahas tentang bapak ini. Bapak ini juga mempunyai sebuah blog pribadi yang isinya berupa semua hasil karya tulisnya dan semua pengalaman serta komentar orang-orang terhadap bapak ini, maupun tentang buku-bukunya. Ya dia memang seorang sastrawan berbahasa Jawa dan Indonesia.

Ketika melihat semua datanya, dan ketika mengetikkan namanya dalam google tak pernah muncul wajah lain selain wajah bapak ini. Selain itu jumlah orang yang pernah membuka tentang Bapak Suparto Brata juga cukup sangat banyak. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa Bapak ini adalah orang yang populer. Tetapi kenapa saya tidak mengenalnya bahkan dosen saya ataupun orang-orang di sekitar saya tidak ada dari kami yang mengenalnya, meskipun kami tinggal dalam satu kota. Dari situlah saya memutuskan untuk mempromosikan Bapak ini sebagai salah seorang tokoh yang dapat menginspirasi di dalam melestarikan kebudayaan Indonesia. Yaitu melestarikan budaya sastra Jawa di dalam banyak novel-novelnya dan beliau masih konsisten sampai saat ini. Karya-karyanya yang telah dihasilkan juga sudah sangat banyak. Artikel-artikel atau hasil tulisan tentang Bapak ini juga sudah sangat banyak yang diterbitkan di berbagai media dan majalah. Tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Bagaimana tidak, beliau sudah memulai berkarya ketika masih remaja hingga kini sudah menjadi seorang kakek di keluarganya, masih juga berkarya. Dunia tulis-menulis ini seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak dapat terpisahkan sampai kapanpun.

Selain itu kenapa saya memilih Bapak Suparto Brata, ini adalah karena pada saat saya melihat blognya saya mendapatkan identitas pribadinya dan melihat bahwa Bapak ini tinggal di Jalan Rungkut Asri, perumahan YKP Rungkut Lor Surabaya. Ketika mengetahui alamatnya itu hatiku sangat senang karena walaupun jauh dari rumahku sekarang, saya cukup mengenal daerah itu, karena sewaktu kecil saya pernah tinggal bersama tante saya di Jalan Rungkut Permai B/8. Dan sekarang masih ada kakak sepupuku dan pamanku yang tinggal di sana, jadi setidaknya kakakku bisa mengantarkan saya ke rumah Bapak ini.

Ada alasan lain, mengapa saya mula-mula tertarik dengan tokoh ini. Yaitu beliau memasang alamat e-mail di blognya. Hal ini jarang dilakukan oleh orang lain. Beliau sudah memiliki blog itu saja saya sudah bersyukur dan bangga, karena seorang kakek kok masih bisa menggunakan teknologi yang modern dan berkembang saat ini. Ini sangat langka dan sangat mengagumkan. Ya karena ada alamat e-mailnya, saya berpikir jika saya tidak bisa mengunjunginya setidaknya saya bisa memulainya dengan mengirim e-mail kepadanya untuk menceritakan maksudku dan meminta persetujuan Bapak Suparto Brata untuk mau membantu tugasku ini.

Sayang hingga liburan Idul Fitriku habis, saya tak kunjung mendapat balasan. Saat itu saya takut Bapak ini tidak membuka e-mailnya atau memang tidak pernah dibuka. Wah kalau begini terus bagaimana saya bisa mendapatkan kepastiannya? Karena jika nanti sudah mepet dengan pengerjaan tugasku maka akan sulit untuk mencari tokoh baru lagi. Akhirnya saya putuskan pada hari Sabtu malam setelah kuliah saya mengunjungi rumahnya bersama kedua saudaraku.

Sampai di depan alamat rumahnya, saya ketok pintu pagarnya, tidak ada respon dari dalam. Saya pencet tombol yang ada di dekat pintu, tetapi tidak berbunyi. Justru lampu depan jalan rumahnya yang menyala. Agaknya tombol tadi untuk menyalakan lampu di jalan depan rumahnya. Saat itu saya sangat kecewa. Kunjungan saya tampaknya akan sia-sia. Apalagi lampu di dalam rumah tidak ada yang menyala. Dan tidak ada mobil di “kandang mobil” yang tersedia. Tampak seperti rumah kosong. Tapi tanpa putusasa saya goyang-goyangkan kunci pintu pagarnya, sambil memanggil-manggil apakah ada orang di rumah sana.

Sekitar mungkin 20 menit kemudian ada suara menyahut dari dalam rumah. Dan pintu pun terbuka. Dalam hatiku ada tanda kehidupan dan pengharapan baru. Saya sangat senang karena akhirnya mendapatkan respon dari dalam rumah. Padahal barusan sudah hendak saya tinggalkan karena saya berpikir mungkin keluarga ini masih mudik lebaran. Ketika pintu terbuka, keluarlah seorang kakek tua, namun masih terlihat sehat dan kuat. Lalu saya bertanya apakah ini rumah Pak Subrata. Saat itu saya sangat gugup. Saya tidak mempunyai catatan namanya. Saat itu, semua artikel dan data tentang Bapak ini tertinggal di rumah pamanku. Yang ada hanya alamat e-mail dan alamat rumah yang ada di handphoneku saja. Namun, untung saja Bapak ini mengatakan benar ini rumahnya. Beliau tanya, “Cari siapa?”. Lalu saya langsung mengatakan bahwa saya mencari Bapak yang banyak menulis novel sastra Jawa. Bapak ini langsung mengiyakan dan mencarikan kunci untuk membukakan pintu supaya saya bisa masuk. Ketika menunggu pintu dibukakan saya berpikir bahwa Bapak ini sudah tua tetapi masih lincah dan dari raut wajahnya terlihat sangat ramah. Bapak ini terlihat lebih muda dan tidak seperti kakek-kakek. Oleh sebab itu saya masih memanggilnya Bapak. Saya rasa itu pantas dengan segala kemampuannya yang masih seperti Bapak-Bapak zaman sekarang.

Setelah masuk, saya katakan bahwa saya kira tidak ada orang di rumah karena lampu ruangan dalam rumah mati semua, Bapak ini menjawab bahwa kebiasaannya kalau sudah gelap atau matahari tenggelam beliau selalu menonton televisi di kamarnya. Lalu saya bertanya lagi apa Bapak tinggal sendirian di rumah ini? Ternyata tidak. Beliau tinggal bersama keluarga anak perempuan satu-satunya. Anggota keluarga itu (anak perempuannya itu, mantu, cucunya 3 orang) menempati di lantai dua, maka lantai bawah sepi. Begitu keadaannya sehari-hari. Tapi baru saja hari kemarinnya (3 hari pasca-Hari Raya Idulfitri) rumah ini sangat ramai. Putera laki-lakinya yang berjumlah tiga orang yang bekerja di Jakarta, beserta isteri dan anak-anaknya, semua lengkap datang bersama di rumah ini. Mereka datang bersama tapi dengan kendaraan yang berbeda. Ada yang naik pesawat, ada yang naik mobil sendiri. Setelah 2 hari berlibur serta melebur dosa kepada Bapak ini, mereka pun pulang. Baru tadi pagi (sebelum saya datang) tamu-tamu dari Jakarta itu meninggalkan rumah ini, hingga sepi lagi. Ada yang langsung pulang naik pesawat, berangkatnya sore. Ada yang naik mobil sendiri berangkatnya pagi-pagi sekali. Ada yang sekeluarga melanjutkan berlibur ke Bali dengan pesawat, mobilnya ditinggal di situ (dikandangkan di dalam garasi, tidak terlihat dari pintu pagar). Ketika saya datang itu yang pergi ke Bali belum kembali (baru berangkat ke Bali pagi harinya tadi).

Itulah pertemuan pertama kami. Dari situ saya membicarakan asal saya, tugas dan keperluan saya datang menemui beliau. Dari semua itu saya menyimpulkan bahwa Bapak ini merespon positif niat saya dengan baik. Bahkan beliau langsung menunjukkan ruang kerjanya ya kamar tidurnya. Ketika saya pamit pulang, beliau menyempatkan memberi saya sebuah kaos yang bertulisan alamat blognya yang punggungnya ada gambar wajah beliau.

Sebelum pulang saya menanyakan tentang email saya, kenapa tidak ada balasan. Dalam pikiran saya mungkin karena kata-kata yang saya tulis cukup banyak, saya uraikan langsung apa kepentingan saya setelah menemukan alamat email Bapak Suparto Brata, saya dianggap tidak penting. Ternyata beliau memang selektip membaca email yang tertuju kepadanya. Kalau pengirimnya tidak dikenal dan subject-nya agak merupakan iklan, tidak dibaca, bahkan di-delete tanpa dibuka dulu beritanya. Mungkin nama saya dan persoalan yang saya tawarkan dalam subject juga dianggap iklan, maka di-delete sebelum dibuka beritanya. Beliau juga menolak diajak chating atau face-book. Menghindari keasyikan chating yang menyebabkan mengurangi keproduktifannya menulis. Beliau mengagendakan dirinya tiap hari harus menulis. Menulis apa saja, tapi pasti ada yang direncanakan untuk ditulis. Begitu banyak yang akan ditulis, sehingga memerlukan sekala prioritas, mana-mana yang perlu ditulis hari ini, dan besok, dan lusa, dan bulan depan, dan tahun depan. Tiada hari tanpa menulis dalam sisa usianya, ujar beliau. Oleh karena itu agenda berkarya tulisnya sudah bertumpuk terdaftar di angannya, tinggal menjadwal sekala prioritasnya, mana yang harus ditulisnya dahulu, mana yang berikutnya.

Saya juga disuruh menuliskan biodata saya di buku agenda beliau, dan saya diberi kartu namanya.

Ya sejak bertemu dengan Bapak ini saya jadi teringat kakek saya. Sikap dan logatnya dalam mencarikan sesuatu untuk saya sangat mirip seperti kakek saya ketika kakek mencarikan sebuah kamera analog untuk tugas fotografi tahun lalu. Kakek mencarikan semua kamera yang pernah ia punya. Ia bahkan memberikan semua kamera miliknya sewaktu muda dulu. Itu saat-saat terakhir saya bertemu kakek saya tahun lalu, yaitu ketika liburan Natal 2008 dan Tahun Baru 2009. Dan kamera yang saya gunakan dalam pelajaran fotografi kemarin adalah benda warisan terakhir kakek saya yang diberikan kepada saya dan hasil fotonya memang sangat memuaskan. Terima kasih Engkong.

Akhirnya saya dan Bapak Suparto Brata sepakat untuk bekerja sama dan kita akan saling membantu dalam setiap usaha kita masing-masing. Kami mulai merencanakan agenda kami melalui e-mail dan menyusun beberapa pertemuan untuk saling mengenal dan berbagi informasi serta data-data yang saya perlukan. Bapak ini selalu sabar dalam membantu saya dan tidak pernah merasa terganggu dengan setiap kedatangan saya, bahkan ia selalu menyambut kedatangan saya dengan senang hati termasuk keluarganya inilah yang memudahkan pekerjaan saya. Ini juga mungkin karena Bapak ini sudah sangat sering dikunjungi oleh banyak orang dari mana saja baik dari pelajar, wartawan atau bahkan dari penggemar buku-bukunya. Pada saat saya menulis ini Bapak sedang menemani tamu yang berasal dari Australia (Mr. Keith Foulcher) di Kampus Unair.

Banyak hal yang bisa saya dapat dari Bapak Suparto Brata seperti jiwa sosialnya yang tinggi, kecintaan dan konsistensinya yang tinggi dalam perjuangannya terhadap sejarah dan karya sastra terutama sastra Jawa, mampu mengubah daya pikir sosial ke arah yang lebih baik, mendapatkan pengakuan dari publik atas perjuangannya, ada wujud dan hasil karyanya yang banyak, serta mempunyai jaringan sosial yang tinggi dan seorang yang terus menyuarakan kepada generasi muda untuk terus mencintai sejarah dan kebudayaan Bangsa Indonesia.
Saya rasa pertemuan saya dengan Bapak Suparto Brata bukan suatu kebetulan dan saya juga berterima kasih atas anugrah dan kasih karunia Tuhan Yesus. Saya percaya Tuhan yang merencanakan semuanya ini, karena bagaimana mungkin begitu banyak kebetulan dan kesamaan pengalaman saya yang juga mirip dengan kisahnya. Terima kasih Tuhan yang telah membantu dan memampukan tugas saya ini.



Saya percaya pertemuan saya dengan Bapak Suparto Brata bukan suatu kebetulan dan saya juga berterima kasih atas anugerah dan kasih karunia Tuhan yang telah membantu saya dalam menemukan seorang tokoh Suparto Brata yang sangat menginspirasi bagi generasi muda dan telah memberikan yang terbaik. Thank’s GOD!



Selanjutnya.....

SUPARTO BRATA: Seorang Sejarawan

Oleh: R. Nugroho Bayu Aji
Alumnus Depatremen Ilmu Sejarah Unair
Kontributor buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal
Pemerhati sejarah dan sastra

Oleh: R. Nugroho Bayu Aji (Alumnus Depatremen Ilmu Sejarah Unair, Kontributor buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, Pemerhati sejarah dan sastra)

Pada tanggal 12 Oktober sastrawan dari Surabaya, Suparto Brata mendapatkan penghargaan SEA (South East Asia) dari Kerajaan Thailand karena dedikasi dan integritasnya sebagai seorang sastrawan yang pruduktif berkarya. Suatu prestasi yang patut dibanggakan bagi sastrawan, mengingat penghargaan tulis-menulis ini bertaraf internasional. Kehadiran Suparto Brata dengan karya sastranya sangatlah fenomenal. Bukan hanya karya sastra murni yang dia hasilkan.

Ada beberapa informasi penuh makna sejarah bahkan rekonstruksi kehidupan sosial di Surabaya dalam karyanya. Artinya, karya sastra yang ditulis oleh Suparto Brata bisa dijadikan acuan untuk menjelaskan seperti apa sejarah kota Surabaya dari jaman kolonial Hindia-Belanda, masa-masa pendudukan Jepang serta awal kemerdekaan Indonesia.

Karya-karya tersebut antara lain Kremil, Saksi Mata, Mencari Sarang Angin. Dalam karyanya yang berjudul Kremil, dikisahkan bagaimana belitan permasalahan ekonomi kota Surabaya sehingga mengakibatkan penjualan gadis oleh tetangganya dalam dunia prostitusi. Dari Kremil inilah narasi terajut yang kemudian membekali keberadaan Dolly sebagai tempat prostitusi terbesar yang dimiliki oleh Surabaya.

Dalam novel Saksi Mata terlihat bagaimana situasi Surabaya ketika diduduki oleh Jepang (1944). Tokoh Kuntara (12 tahun) mengalami sebuah pergulatan batin-jiwa ketika mengetahui kebiasaan tentara Jepang untuk memiliki gadis pribumi (Bulik Rum) sebagai simpanan dan pemuas nafsu. Keluarga Bulik Rum, Wiradad (suami) dan ayahnya tidak kuasa mencegah keinginan Ichiro Nishizawa serta Okada untuk menikmati tubuh Bulik Rum.

Selain itu digambarkan pula setting kota Surabaya tahun 1944, yakni daerah Pacarkeling dengan suasana Hindia-Belanda karena banyak jalan-jalan yang masih menggunakan bahasa Belanda. Ada pula bungker-bungker sebagai perlindungan dari serangan udara akibat dampak dari PD II. Tidak lupa dalam karya tersebut disertai juga lagu-lagu propaganda Jepang dan juga lampiran peta.

Berkat karya Saksi Mata ini, Suparto Brata mendapat undangan khusus dalam Semiloka Kota dan Karya Sastra dalam Studi Sejarah atas permintaan Dr. Freek Colombijn dan Els Bogaerts dari NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie). Hal ini bukan tanpa alasan karena Saksi Mata termasuk karya sastra yang mencatat sejarah. Selain itu, Saksi Mata juga mengantarkan Suparto mendapat SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (Jawa Pos, 15 Oktober 2007).

Tulisan-tulisan Suparto Brata berawal dari pengalaman yang pernah dia saksikan ataupun didengarnya dari orang lain, serta ditambah dengan pengetahuan dari buku-buku sastra dan sejarah. Pengalaman tersebut dia rasakan karena hidup dalam tiga jaman yakni kolonial Hindia-Belanda, Jepang dan Kemerdekaan. Pengalaman itu, kemudian mengilhaminya untuk menyelesaikan karyanya yang berjudul Mencari Sarang Angin.

Terdapat fakta dan data sejarah dalam karya Mencari Sarang Angin tersebut, yakni mulai dari sejarah pers di Surabaya 1936-1945, sejarah pertempuran 10 November 1945 sampai pemberontakan PKI Madiun 1948. Selain itu dipaparkan pula berbagai macam kebiasaan orang Surabaya antara lain: adu doro, minum tuak dan arak-arakan ketika hendak merayakan pernikahan.

Selain setting kota Surabaya, Suparto Brata juga memiliki karya monumental dalam trilogi novel Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, serta Mentari di Ufuk Timur Indonesia. Trilogi tersebut mengisahkan perjalanan hidup tokoh Tetti dan Raminem yang berlatar pada masa pendudukan Dai Nippon di Nusantara.

Karya Sastra dan Sejarah

Sebagian besar sejarawan mengatakan bahwa karya sastra merupakan “alat bantu” dari ilmu sejarah. Akan tetapi, tidak bisa kita pungkiri bahwa karya sastra mempunyai sumbang sih besar untuk sejarawan dan historiografi. Dari karya sastra bisa diambil pengetahuan dan informasi yang tak dimiliki oleh dokumen tertulis maupun arsip yang berperspektif pemerintah.

Dengan demikian, kita bisa menerobos ruang kosong yang tak dimiliki arsip maupun dokumen. Sehingga sebuah peristiwa sejarah semakin dinamis dengan pendekatan dari arus bawah masyarakat yang terpinggirkan oleh sejarah dan kekuasaan (history from bellow).

Lebih lanjut lagi, karya sastra baik novel dan yang lainnya menjadi lebih dari sekedar “alat bantu” karena bisa menjelaskan lebih detail dinamika yang terjadi dalam peristiwa sejarah. Artinya, karya sastra merupakan sahabat untuk berdialektika dalam sejarah dengan semangat zaman (zeit gheist) yang terkandung didalamnya.

Sejarawan Kuntowijoyo yang akrab dengan dunia karya sastra mengatakan bahwa sastra dan sejarah pada era sekarang sangat tipis sekali bedanya. Bahkan tidak sedikit pula karya sastra seperti novel memuat fakta-fakta dalam suatu peristiwa sejarah. Hal itu seakan-akan menunjukkan sastra dan sejarah mempunyai hubungan yang erat diantara keduanya.

Karya sastra merupakan simbol verbal dengan beberapa peranan antara lain, sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara perhubungan (mode of cumunication), serta cara pencipta (mode of creation). Kajian karya sastra tertumpu pada realitas. Ketika realitas itu merupakan peristiwa sejarah, maka paling tidak ada tiga hal yang bisa dibahasakan dan diinformasikan melalui karya sastra.

Pertama, karya sastra dapat mencoba untuk menterjamahkan suatu peristiwa melalui bahasa imaginer yang bermaksud untuk menerangkan serta memahami peristiwa sejarah tersebut. Kedua, karya sastra dapat menjadikan penulisnya untuk mengeluarkan perasaan, fikiran dan tanggapan dalam peristiwa sejarah.

Ketiga, layaknya sebuah historiografi (karya sejarah), karya sastra dapat dijadikan sebagai sarana untuk merekonstruksi (membangun kembali) sebuah peristiwa sesuai dengan pendekatan, pengetahuan serta daya imaginasi dari seorang penulis (Kuntowijoyo, 1999: 127).
Dengan penghargaan SEA Write Award atas dedikasinya dalam tulis-menulis dari Kerajaan Thailand, tidaklah berlebihan apabila kita memberikan apresiasi kepada Suparto Brata untuk dijadikan sebagai sejarawan. Meskipun tidak mengenyam pendidikan formal sejarah ataupun berprofesi sebagai seorang sejarawan, karyanya banyak membantu dalam historiografi kota Surabaya.

Saat ini, Surabaya memang membutuhkan sejarawan-sastrawan (sejarawan-nyastra) yang bisa menyampaikan fakta sejarah kepada masyarakat awam. Kecenderungan gaya bahasa sastra dalam bentuk novel, roman, atau cerita akan lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat awam.

Beda halnya ketika peristiwa sejarah dibahasakan dengan tulisan akademis, bukanlah suatu perkara yang mudah untuk memahaminya. Bahkan seseorang yang sedang mempelajari sejarah (mahasiswa ilmu sejarah) serta sekelas akademisi pun terkadang sulit untuk memahami sejarah.
Akan lebih bijaksana apabila sejarawan lebih bisa membumikan sejarah kepada keseluruhan masyarakat. Sehingga perkataan sejarawan Taufik Abdullah bisa terealisasikan yakni sejarawan tidak boleh berada di menara gading karena sejarah tidak bersifat elitis. Sejarah harus berada di tengah-tengah masyarakatnya.

Bukankah itu yang kita inginkan agar kita tidak sampai amnesia sejarah karena sudah banyak sejarawan masa kini yang mempunyai hubungan intim dengan elit kekuasaan dan lupa dengan masyarakat.

Dikuti dari "Belajarsejarah.com"


Selanjutnya.....

PENGARANG ITU BERNAMA SUPARTO BRATA.

EDITORIAL:

Beberapa hari yang lalu saya memenuhi undangan J.F.X Hoery (penyair sastra Jawa) yang kini menetap di Padangan (Bojonegoro) untuk mengikuti acara Kemah Budaya Jawa 2009. Acara diselenggarakan selama 3 hari, tanggal 27 s/d 29 Oktober 2009 mengambil tempat di Taman Tata Wana, Dander, Bojonegoro

Kendati acara diselenggarakan di bawah kemah (yang kalau siang hari panasnya bukan main, dan kalau malam hari jenes dan dingin karena diguyur hujan yang cukup lebat), saya cukup senang mengikuti acara tersebut. Sebagimana yang sudah-sudah, acara diisi dengan sarasehan-sarasehan,. Hebohnya, panitia masih menjamu peserta kemah dengan beberapa pagelaran seni: cokekan, oklik, athiririt, wayang tobos dan wayang thengul. Spektakuler, memang.

Namun yang membuat saya terkesan, adalah pertemuan dengan beberapa sastrawan Jawa modern yang menurut saya masih menunjukkan semangat berjuang menegakkan panji-panji sastra Jawa di tengah serbuan budaya pop (audio visual) yang terus menerus menggerus budayaa baca tulis. Mereka bertemu, saling menyapa, berbincang membicarakan sastra Jawa (yang tetap berjalan di tempat). Ada yang mengeluh, putus asa dan akhirnya mencoba survival dengan beralih ke sastra Indonesia. Namun ruh mereka tetap. Mereka tetap pejuang sastra Jawa yang militan.

Salah seorang pejuang sastra Jawa itu adalah Suparto Brata. Sudah sepuh memang. Namun energi kepenulisannya tiada tara. Saya sudah cukup lama mengenal suparto Brata. beberapa kali berbincang deengan pengarang sepuh itu. Namun perbincangan paling mengesankan baru terjadi di Bojonegoro kali ini. saya benar-benar kagum dengan semangat beliau dalam menulis. Tiada hari tanpa menulis. Konon beliau menetapkan harus menulis sebanyak 8 halaman setiap hari. Kalau satu hari tidak dapat melakukan maka ia harus membayarnya di lain waktu.

Apa sih yang membuat Pak Parto demikian dahsyat nguri-uri semangat menulis, tanya saya. Menurut beliau, kalau orang mau disebut modern, maka ia harus mau meninggalkan tradisi omong dan jagongan. Itu tradisi kuno. Tradisi bangsa primitif. Bangsa modern sudah tidak membiasakan diri dengan budaya omong-omong dan jagongan. Bangsa modern harus membiasakan diri deengan budaya membaca dan menulis. Semua profesi membutuhkan tulisan. Seorang sarjana, mahasiswa, dosen, semua harus menulis untuk menunjukkan profesi mereka, katanya dengan senyum.

Sudah barang tentu saya tidak menyindir kawan-kawan di Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Mungkin kata-kata Suparto Brata itu betul. Kita memang ditakdirkan sebagai seorang dosen. Menjadi agak bermasalah kalau sebagai seorang dosen sudah tidak suka menulis atau tidak bisa menulis. Menjadi sangat bermasalah kalau seorang dosen hanya suka omong dan jagongan ke mana-mana. Sarasehan memang sebuah omong-omong dan jagongan, namun sarasehan merupakan sebuah iplementasi dari kebiasaan membaca dan menulis sebelumnya. Kalau waktu habis hanya dipakai untuk omong dan jagongan, kata-kata Suparto Brata mungkin benar. Kita adalah orang primitif. Orang yang tidak suka menulis, dan tidak bisa menulis.

Salam.

Wiranta.

Dikutip dari MAJALAH ILMIAH HALUAN SASTYRA BUDAYA no. 55 Th. XXVII Nopember 2009.
diterbitkan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.


Selanjutnya.....

Suparto Brata dan Remaja Putri

Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa, Hari Sumpah Pemuda, dan Hari Pemuda, Sekolah Ciputra yang beralamat Puri Widya Kencana CitraRaya Surabaya Barat ini pada puncak peringatan mengadakan talk show dengan tema “Nasionalisme Dalam Karya Sastra Dan Di Kalangan Anak Muda” pada hari Rabu, 4 November 2009 jam 13.30-15.00 WIB di Aula Sekolah Ciputra tersebut.
Yang menjadi narasumber tunggal adalah Bp Suparto Brata. Bp. Suparto Brata dijadikan narasumber oleh karena bukunya trilogi GADIS TANGSI (Penerbit Buku Kompas Jakarta 2003, 2006, 2007) selama tiga tahun belakangan ini menjadi buku wajib dibaca oleh kelas X, XI, XII dalam pelajaran bahasa dan sastera Indonesia. Pada puncak acara talk show itu sekolah yang terkenal dengan nama SEKOLAH CIPUTRA, An International and IB World School (International Education For Indonesian and Overseas Students, Guiding students to be independent learners, well rounded individuals and responsible pro-active citizens who have the knowledge, skill, attitudes and values for life in the 21st century) berbahasa pengantar Inggeris ini hanya menghadirkan pelajar kelas X dan XI. Sedangkan kelas XII yang sudah akan lulus (menempuh ujian penghabisan) untuk kelas bahasa Indonesia (kelas lainnya ada ekonomi, teknologi, dll) dianjurkan membuat paper atau menulis semacam penelitian mengenai buku sastera Indonesia. Mereka tidak dihadirkan di talk show, melainkan pada lain waktu dianjurkan datang dan mewawancarai Bp Suparto Brata di rumahnya yang bukunya sudah pada mereka bacai di pelajaran sekolah.

Dalam talk show, para pelajar yang kebanyakan remaja puteri, mereka aktif melangsungkan pertanyaan-pertanyaan yang analitik kepada narasumber. Terutama mengenai proses kepengarangan buku Gadis Tangsi, dan tema-tema buku lainnya yang juga ditulis oleh Suparto Brata. Banyak bertanya sekitar bagaimana cara mendalami cinta bangsa seperti yang ditulis dalam buku narasumber; bagaimana cara Bp. Suparto Brata menanamkan nasionalisme Indonesia malah bahkan patriotisme seperti yang terasa sekali dalam narasi buku-bukunya. Hal itu ditanyakan oleh pelajar puteri yang sedang menempuh dan belajar di sekolah internasional tadi, dengan alasan jawaban narasumber akan penting sekali untuk bekal kehidupan mereka yang meneruskan sekolah ke luar negeri. Pertanyaan-pertanyaan tadi memang sesuai dengan tema talk show “Nasionalisme Dalam Karya Sastra Dan Di Kalangan Anak Muda”. Sedang yang hadir dan interaktif dalam talk show itu (termasuk pembawa acara, moderator) semua remaja puteri etnis Cina. Peserta putera juga ada, tapi kelihatan kalah banyak jumlahnya dan kalah antusias interaktifnya dibanding dengan pelajar puterinya.

Antara lain Bp. Suparto Brata menganjurkan dalam jawabannya, “Tahun depan ini (2010) akan ada pemilihan Walikota Surabaya. Alangkah baiknya kalau Sekolah Ciputra sekarang ini mengadakan lomba penulisan esei yang judul dan temanya KALAU AKU JADI WALIKOTA SURABAYA. Pesertanya diwajibkan dari kalangan pelajar dari kelas IX. X, XI Sekolah Ciputra Surabaya. Agar pada semangat, sebaiknya panitia lomba (guru) menghubungi media massa cetak di Surabaya, agar mau menjadi juri atau sponsor, dan nanti pemenang lomba karangannya bisa dimuat dalam media massa cetak tersebut. Dengan begitu sudah sejak pelajar kelas IX (SMP klas 3) para remaja di Surabaya ini sudah dilatih mencintai dan ingin membangun tanahair berdasarkan penelitian kota tempat tinggal mereka yang dilihat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Kota Surabaya). Dalam pemikiran mereka tentulah akan memperbaiki kotanya, memakmurkan kotanya, mencoba memikirkan perbaikan kota yang dirasakan kurang difasilitasi oleh walikotanya dan ingin mengatasi kesukaran hidup warga kotanya tadi. Jadi yang menggelar pemikiran membangun Kota Surabaya bukan hanya calon walikota Surabaya 2010 (calon walikota sesungguhnya) ketika berkampanye menggelar visi dan misinya. Dengan para remaja pernah memikir jadi Walikota Surabaya, sampai besok kalau sudah dewasa dan menjalani profesinya (profesinya apa saja, ya insinyir, ya dokter, ya hakim atau jaksa, ya guru sekolah), tentu masih terkenang cintanya akan Surabaya atau tanahair. Rasa nasionalisme membangun Kota Surabaya tetap menjadi jiwanya.” Begitu anjuran Bp Suparto Brata, narasumber talk show hari itu.



Selesai talk show, ingin membuat kenangan dengan narasumber (Bp Suparto Brata), para pelajar puteri yang aktif itu pada minta foto bersama.



Selain buku trilogi Gadis Tangsi yang jadi mata pelajaran, banyak pula di antara para pelajar puteri yang sudah punya buku dan membaca buku karangan Bp Suparto Brata lainnya, seperti SAKSI MATA (penerbit buku Kompas Jakarta 2002), AURORA SANG PENGANTIN (penerbit PT Grasindo Jakarta 2003), SAPUTANGAN GAMBAR NAGA (penerbit PT Grasindo Jakarta 2003). Senyampang ketemu mereka pada minta kesan/pesan dan tanda tangan pengarangnya pada buku-buku yang dimilikinya.


Selanjutnya.....

Nasib ‘Tidak Ada Nasi Lain

Oleh : Risang Anom Pujayanto

Kamar yang kira-kira berukuran 4x7 itu penuh dengan buku. Di sudut kamar, tata letak buku di lemari lebih rapi daripada yang berada di atas meja. Di samping kiri meja, ada komputer yang telah turut andil memproduksi puluhan buku, dari total 137 karyanya yang telah dipublikasi.


Suara televisi terdengar meminta perhatian Suparto Brata. Tapi Begawan Sastra Jawa itu lebih suka membaca dan sekali-kali tampak menulis sebagai bekal ingatan dari bacaan.

Sejak 1951, secara otodidak Suparto Brata mulai menekuni dunia tulis-menulis. Setelah mengendapkan serangkaian bacaan dan pengalaman atas pengamatan realitas selama bertahun-tahun, pada 1958 Suparto Brata telah menyelesaikan tulisan pertamanya. Sebuah novel fiksi.
Novel yang pada ralat terakhir (2009) sudah mencapai 629 halaman ini diberi judul Tidak Ada Nasi Lain. Namun Tidak Ada Nasi Lain ini pernah dimuat menjadi cerita bersambung oleh Kompas dengan judul Sanja Sangu Trebela. Dan, cerita bersambung itu masing-masing memiliki tebal buku 120 halaman.

”Waktu itu khan saya belum bisa mengarang. Itu merupakan karangan saya yang pertama. Teknik mengarang pun masih tahap mencari-cari. Jadi yang saya ceritakan dalam novel, ya keadaan sebenarnya waktu itu. Sejujur-jujurnya,” ungkap pengarang yang dilahirkan di Rumah Sakit Simpang Surabaya (kini Surabaya Plaza) itu. Jadi mungkin karena alasan terlalu vulgar dan jujur menyoroti pemerintahan itulah, Tidak Ada Nasi Lain berkali-kali mentah sesaat akan diterbitkan.

Tahun 1958, zaman dimana belum ada surat kabar. Pria yang akrab dipanggil Parto itu mengetahui, bahwa jika seseorang menulis agar bisa dibaca harus diterbitkan dalam bentuk buku. Pada waktu itu, satu-satunya penerbit yang eksis hanya Penerbit Pembangoenan. Dikatakan redaksi Penerbit Pembangoenan, naskah Tidak Ada Nasi Lain memang layak, hanya saja ending cerita menunjukkan kepesimisan. Dan, sikap pesimis tidak sesuai dengan keadaan negara yang konon pada waktu itu sedang berjuang menjadi negara maju secara mandiri.

Setelah diganti ejaan sesuai EYD, lantas naskah yang sama diajukan ke penerbit Dunia Pustaka Jaya milik Ajib Rosidi tahun 1972. Ketidaksesuaian pandangan politik dalam teks membuat Tidak Ada Nasi Lain kembali ditolak. Alasannya, di dalam novel tersebut ada ungkapan ketidakpuasan tentang ketidakadilan negara. Di jaman yang sudah memasuki era orde baru itu, bagi Ajib Rosidi, ngrusuhi pemimpin bukan merupakan sikap orang yang bermartabat.

Lantas di tahun 1990 baru bisa diterbitkan. Kompas Yogyakarta bersedia memuat cerita secara bersambung. Alasan Kompas menerima karena di dalam teks kental muatan Kristiani. Banyak perubahaan. Tidak Ada Nasi Lain pun semakin panjang dan lebih detail.

”Naskah ini ditulis tahun 1958 dan baru diterbitkan tahun 1990. Jadi menunggu 32 tahun. Sekarang saya mikir akan menerbitkan dalam bentuk buku di tahun 2010,” tegas Parto.

Setelah dimuat bersambung hingga selesai oleh Kompas, atas permintaan penerbit Tiga Serangkai, oleh Parto cerita ini diklip lalu dikirimkan ke Tiga Serangkai Solo pada 2005. Namun sebelum terbit, buku sudah dilarang karena ada perbedaan keagamaan. Tiga Serangkai Solo membidik segmentasi masyarakat muslim, sedangkan apa yang telah dikliping Parto kental aroma Nasrani.

Demikian juga yang terjadi dengan Grasindo Surabaya tahun 2007. Pada waktu itu, Grasindo Surabaya sedang getol membidik cerita anak dalam bahasa Jawa. Oleh karena nasib cerita anak Bahasa Jawa tidak laku, maka Grasindo pusat memutuskan menghentikan cetakan buku kiriman dari Surabaya. Dan, buku Tak Ada Nasi Lain turut menjadi imbas kebijakan pusat.
”Daminya (buku pracetak) sudah dibuat, tinggal saya melihat dan meralat sedikit, tapi tidak jadi,” sesal pria kelahiran Surabaya, 27 Februari 1932 silam itu.

Jadi bagi Parto, penolakan redaksi itu sudah lumrah. Sensor tulisan hingga perbedaan prinsip memang selalu menjadi tawar-menawar yang alot antara pengarang dan penerbit. Akan tetapi, Parto tidak sepakat jika buku yang telah beredar dicekal, dimusnahkan, hingga dibakar seperti yang terjadi dewasa ini.

”Di zaman Orla dan Orba, pencekalan dilakukan sejak awal. Sensor dari penguasa sangat ketat dan kinerjanya tergolong rapi dan tersembunyi. Represi laten. Sehingga redaksinya pasti khawatir dan tidak berani menerbitkan,” jelas Parto.

Cerita tokoh Saptono dalam Tidak Ada Nasi Lain yang merupakan refleksi diri Suparto memang tidak pernah tepat untuk Orla dan Orba. Ceritanya yang tidak sesuai dengan jaman Orla, misalnya, Saptono ditulis sebagai anak yatim piatu yang memutuskan ikut berperang. Dalam perang, Saptono menemukan teman-temannya menjadi pengkhianat bangsa. Seiring dengan berjalannya waktu, saat kemerdekaan telah diraih, ternyata para pengkhianat yang berhasil menduduki kursi DPR. Sementara Saptono tetap hidup sengsara dan nyaris bunuh diri. Setting cerita ini berlangsung pada zaman perang hingga zaman Orla.

Bunuh diri yang identik dengan sikap pesimis dijadikan penguat Penerbit Pembangoenan untuk menolak halus sekaligus menghindari masalah dengan negara. Sebab di tahun 1950, negara memutuskan tidak mau menerima bantuan dari luar. Kala itu, Bung Karno ditawari Amerika proyek merata perbaikan jalan di seluruh daratan Jawa agar transportasi masyarakat bisa menjadi mudah. Dasar penolakan Bung Karno ini dikarenakan Amerika memberi catatan bahwa Indonesia wajib membeli mobil dari Amerika. Keyakinan untuk tetap mandiri ala presiden pertama Indonesia ini membuat keadaan semakin sulit. Beberapa bahan seperti kopi, nasi dan sandangan sulit didapatkan. Tidak Ada Nasi Lain.

Demikian juga di masa orba, Ajib Rosidi mencari jalan pintas menolak naskah karena ungkapan Suparto Brata dalam Tidak Ada Nasi Lain mengkritik ketidakadilan pemerintahan sangat lantang. Terlebih lagi di dalam teks juga disajikan kekejaman para kapitalis yang tega menghukum orang melarat. Tekanan yang begitu besar di kala itu membuat Ajib tidak berani mengambil resiko. Tidak hanya Ajib, beberapa penerbit dan surat kabar lain juga melakukan hal yang sama.

”Kira-kira tahun 1970-1972an, Sinar Harapan pernah terkena masalah. Diberedel. Pada waktu itu ada konferensi pers tentang anggaran negara. Sebelum acara, salah satu wartawan Sinar Harapan pulang, padahal di akhir acara komandan Korem menginstruksikan kepada seluruh wartawan untuk tidak menyiarkan berita itu. Esoknya hanya Sinar harapan yang memuat berita. Dan Sinar Harapan diberedel,” kenang kakek yang juga mantan wartawan majalah Gapura itu.

Jadi di zaman Orba, tidak hanya Ajib Rosidi yang tidak berani. Yang berani berakhir di tahanan seperti Rendra, salah satunya. Dengan perkataan lain, dahulu juga ada pencekalan, tetapi dilakukan dengan cara berbeda. Sebelum muncul sudah dihadang.

Melihat fenomena ini, Parto menangkap adanya peluang untuk menyelesaikan Tak Ada Nasi Lain untuk diterbitkan menjadi sebuah buku. Targetnya tahun 2010. Keseriusan Suparto Brata ini terlihat dari sebalik cover Tak Ada Nasi Lain warna biru. Catatan revisi telah ditandai. Demikian juga dengan judul cover. Ukuran font pada Tidak Ada dihilangkan dan dibuat ukuran yang lebih besar lagi agar terlihat oleh pembaca.

”Tulisan yang memuat kebenaran sejarah harus diperjuangkan,” tutur Parto. Apalagi Tak Ada Nasi Lain ini merupakan tulisannya pertama kali. Di tahun 2010 ini, tata letak buku di kamar 4x7 itu akan bertambah satu koleksi buku lagi. Lemari itu masih setia menanti. (b2)

Diambil dari Surabaya Post.co.id, 3 Januari 2010

Selanjutnya.....
 

Template by NdyTeeN