Thursday, 18 February 2010

INSPIRASI MYRA KETIKA KETEMU SUPARTO BRATA

Oleh: Veronica Myra Wijaya

Kakekku meninggal dunia 5 bulan yang lalu. Kami sekeluarga sangat sedih karena kakek meninggal dengan tiba-tiba akibat serangan jantung dan karena faktor usia. Kakek meninggal tepat ketika saya sedang mengikuti Ujian Akhir Semester 4 di hari yang terakhir. Setelah ujian usai, kami sekeluarga langsung memutuskan untuk pulang ke Bali. Kami tidak sampai melihat saat-saat terakhir kakekku di dunia, karena ujianku saat itu belum selesai

Kakekku orang yang banyak berjasa di Singaraja. Ia termasuk 13 daftar orang penting di sana. Kakekku sudah pernah dimuat pada suatu majalah di Bali. Ketika kembali kuliah, aku berniat ingin membuat sebuah buku biografi untuk kakekku untuk mengenangnya. Ketika muncul tugas “Personal Branding” di semester 5, keinginan membuat buku biografi kakek kian menguat. Tapi sayang kakekku sudah tiada, sehingga aku tidak bisa mengangkatnya dalam tugasku. Yang di-branding harus seseorang yang masih hidup, agar bisa menginspirasi orang-orang yang membaca “Personal Branding” tugasku.

Sebelum liburan aku mengusahakan supaya aku sudah menemukan seorang tokoh yang menginspirasiku dan nantinya juga bisa menginspirasi orang-orang di sekitarku. Lalu setiap hari kubuka setiap situs di internet. Semula tentang olahraga, karena aku ingin mengangkat tema ini. Kemudian saya terus mencari dan membuka semua situs yang berhubungan dengan Kota Surabaya, karena saya memang berniat memilih tokoh di Surabaya agar nantinya saya bisa mengunjungi tokoh tersebut dan bisa mendapatkan banyak informasi dari beliau.

Sampai suatu ketika tanpa sengaja saya menemukan sebuah nama Suparto Brata. Saya mencoba mengetik namanya dalam google search wah ternyata wajahnya langsung terpampang di sana. Banyak sekali artikel yang membahas tentang bapak ini. Bapak ini juga mempunyai sebuah blog pribadi yang isinya berupa semua hasil karya tulisnya dan semua pengalaman serta komentar orang-orang terhadap bapak ini, maupun tentang buku-bukunya. Ya dia memang seorang sastrawan berbahasa Jawa dan Indonesia.

Ketika melihat semua datanya, dan ketika mengetikkan namanya dalam google tak pernah muncul wajah lain selain wajah bapak ini. Selain itu jumlah orang yang pernah membuka tentang Bapak Suparto Brata juga cukup sangat banyak. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa Bapak ini adalah orang yang populer. Tetapi kenapa saya tidak mengenalnya bahkan dosen saya ataupun orang-orang di sekitar saya tidak ada dari kami yang mengenalnya, meskipun kami tinggal dalam satu kota. Dari situlah saya memutuskan untuk mempromosikan Bapak ini sebagai salah seorang tokoh yang dapat menginspirasi di dalam melestarikan kebudayaan Indonesia. Yaitu melestarikan budaya sastra Jawa di dalam banyak novel-novelnya dan beliau masih konsisten sampai saat ini. Karya-karyanya yang telah dihasilkan juga sudah sangat banyak. Artikel-artikel atau hasil tulisan tentang Bapak ini juga sudah sangat banyak yang diterbitkan di berbagai media dan majalah. Tidak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Bagaimana tidak, beliau sudah memulai berkarya ketika masih remaja hingga kini sudah menjadi seorang kakek di keluarganya, masih juga berkarya. Dunia tulis-menulis ini seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak dapat terpisahkan sampai kapanpun.

Selain itu kenapa saya memilih Bapak Suparto Brata, ini adalah karena pada saat saya melihat blognya saya mendapatkan identitas pribadinya dan melihat bahwa Bapak ini tinggal di Jalan Rungkut Asri, perumahan YKP Rungkut Lor Surabaya. Ketika mengetahui alamatnya itu hatiku sangat senang karena walaupun jauh dari rumahku sekarang, saya cukup mengenal daerah itu, karena sewaktu kecil saya pernah tinggal bersama tante saya di Jalan Rungkut Permai B/8. Dan sekarang masih ada kakak sepupuku dan pamanku yang tinggal di sana, jadi setidaknya kakakku bisa mengantarkan saya ke rumah Bapak ini.

Ada alasan lain, mengapa saya mula-mula tertarik dengan tokoh ini. Yaitu beliau memasang alamat e-mail di blognya. Hal ini jarang dilakukan oleh orang lain. Beliau sudah memiliki blog itu saja saya sudah bersyukur dan bangga, karena seorang kakek kok masih bisa menggunakan teknologi yang modern dan berkembang saat ini. Ini sangat langka dan sangat mengagumkan. Ya karena ada alamat e-mailnya, saya berpikir jika saya tidak bisa mengunjunginya setidaknya saya bisa memulainya dengan mengirim e-mail kepadanya untuk menceritakan maksudku dan meminta persetujuan Bapak Suparto Brata untuk mau membantu tugasku ini.

Sayang hingga liburan Idul Fitriku habis, saya tak kunjung mendapat balasan. Saat itu saya takut Bapak ini tidak membuka e-mailnya atau memang tidak pernah dibuka. Wah kalau begini terus bagaimana saya bisa mendapatkan kepastiannya? Karena jika nanti sudah mepet dengan pengerjaan tugasku maka akan sulit untuk mencari tokoh baru lagi. Akhirnya saya putuskan pada hari Sabtu malam setelah kuliah saya mengunjungi rumahnya bersama kedua saudaraku.

Sampai di depan alamat rumahnya, saya ketok pintu pagarnya, tidak ada respon dari dalam. Saya pencet tombol yang ada di dekat pintu, tetapi tidak berbunyi. Justru lampu depan jalan rumahnya yang menyala. Agaknya tombol tadi untuk menyalakan lampu di jalan depan rumahnya. Saat itu saya sangat kecewa. Kunjungan saya tampaknya akan sia-sia. Apalagi lampu di dalam rumah tidak ada yang menyala. Dan tidak ada mobil di “kandang mobil” yang tersedia. Tampak seperti rumah kosong. Tapi tanpa putusasa saya goyang-goyangkan kunci pintu pagarnya, sambil memanggil-manggil apakah ada orang di rumah sana.

Sekitar mungkin 20 menit kemudian ada suara menyahut dari dalam rumah. Dan pintu pun terbuka. Dalam hatiku ada tanda kehidupan dan pengharapan baru. Saya sangat senang karena akhirnya mendapatkan respon dari dalam rumah. Padahal barusan sudah hendak saya tinggalkan karena saya berpikir mungkin keluarga ini masih mudik lebaran. Ketika pintu terbuka, keluarlah seorang kakek tua, namun masih terlihat sehat dan kuat. Lalu saya bertanya apakah ini rumah Pak Subrata. Saat itu saya sangat gugup. Saya tidak mempunyai catatan namanya. Saat itu, semua artikel dan data tentang Bapak ini tertinggal di rumah pamanku. Yang ada hanya alamat e-mail dan alamat rumah yang ada di handphoneku saja. Namun, untung saja Bapak ini mengatakan benar ini rumahnya. Beliau tanya, “Cari siapa?”. Lalu saya langsung mengatakan bahwa saya mencari Bapak yang banyak menulis novel sastra Jawa. Bapak ini langsung mengiyakan dan mencarikan kunci untuk membukakan pintu supaya saya bisa masuk. Ketika menunggu pintu dibukakan saya berpikir bahwa Bapak ini sudah tua tetapi masih lincah dan dari raut wajahnya terlihat sangat ramah. Bapak ini terlihat lebih muda dan tidak seperti kakek-kakek. Oleh sebab itu saya masih memanggilnya Bapak. Saya rasa itu pantas dengan segala kemampuannya yang masih seperti Bapak-Bapak zaman sekarang.

Setelah masuk, saya katakan bahwa saya kira tidak ada orang di rumah karena lampu ruangan dalam rumah mati semua, Bapak ini menjawab bahwa kebiasaannya kalau sudah gelap atau matahari tenggelam beliau selalu menonton televisi di kamarnya. Lalu saya bertanya lagi apa Bapak tinggal sendirian di rumah ini? Ternyata tidak. Beliau tinggal bersama keluarga anak perempuan satu-satunya. Anggota keluarga itu (anak perempuannya itu, mantu, cucunya 3 orang) menempati di lantai dua, maka lantai bawah sepi. Begitu keadaannya sehari-hari. Tapi baru saja hari kemarinnya (3 hari pasca-Hari Raya Idulfitri) rumah ini sangat ramai. Putera laki-lakinya yang berjumlah tiga orang yang bekerja di Jakarta, beserta isteri dan anak-anaknya, semua lengkap datang bersama di rumah ini. Mereka datang bersama tapi dengan kendaraan yang berbeda. Ada yang naik pesawat, ada yang naik mobil sendiri. Setelah 2 hari berlibur serta melebur dosa kepada Bapak ini, mereka pun pulang. Baru tadi pagi (sebelum saya datang) tamu-tamu dari Jakarta itu meninggalkan rumah ini, hingga sepi lagi. Ada yang langsung pulang naik pesawat, berangkatnya sore. Ada yang naik mobil sendiri berangkatnya pagi-pagi sekali. Ada yang sekeluarga melanjutkan berlibur ke Bali dengan pesawat, mobilnya ditinggal di situ (dikandangkan di dalam garasi, tidak terlihat dari pintu pagar). Ketika saya datang itu yang pergi ke Bali belum kembali (baru berangkat ke Bali pagi harinya tadi).

Itulah pertemuan pertama kami. Dari situ saya membicarakan asal saya, tugas dan keperluan saya datang menemui beliau. Dari semua itu saya menyimpulkan bahwa Bapak ini merespon positif niat saya dengan baik. Bahkan beliau langsung menunjukkan ruang kerjanya ya kamar tidurnya. Ketika saya pamit pulang, beliau menyempatkan memberi saya sebuah kaos yang bertulisan alamat blognya yang punggungnya ada gambar wajah beliau.

Sebelum pulang saya menanyakan tentang email saya, kenapa tidak ada balasan. Dalam pikiran saya mungkin karena kata-kata yang saya tulis cukup banyak, saya uraikan langsung apa kepentingan saya setelah menemukan alamat email Bapak Suparto Brata, saya dianggap tidak penting. Ternyata beliau memang selektip membaca email yang tertuju kepadanya. Kalau pengirimnya tidak dikenal dan subject-nya agak merupakan iklan, tidak dibaca, bahkan di-delete tanpa dibuka dulu beritanya. Mungkin nama saya dan persoalan yang saya tawarkan dalam subject juga dianggap iklan, maka di-delete sebelum dibuka beritanya. Beliau juga menolak diajak chating atau face-book. Menghindari keasyikan chating yang menyebabkan mengurangi keproduktifannya menulis. Beliau mengagendakan dirinya tiap hari harus menulis. Menulis apa saja, tapi pasti ada yang direncanakan untuk ditulis. Begitu banyak yang akan ditulis, sehingga memerlukan sekala prioritas, mana-mana yang perlu ditulis hari ini, dan besok, dan lusa, dan bulan depan, dan tahun depan. Tiada hari tanpa menulis dalam sisa usianya, ujar beliau. Oleh karena itu agenda berkarya tulisnya sudah bertumpuk terdaftar di angannya, tinggal menjadwal sekala prioritasnya, mana yang harus ditulisnya dahulu, mana yang berikutnya.

Saya juga disuruh menuliskan biodata saya di buku agenda beliau, dan saya diberi kartu namanya.

Ya sejak bertemu dengan Bapak ini saya jadi teringat kakek saya. Sikap dan logatnya dalam mencarikan sesuatu untuk saya sangat mirip seperti kakek saya ketika kakek mencarikan sebuah kamera analog untuk tugas fotografi tahun lalu. Kakek mencarikan semua kamera yang pernah ia punya. Ia bahkan memberikan semua kamera miliknya sewaktu muda dulu. Itu saat-saat terakhir saya bertemu kakek saya tahun lalu, yaitu ketika liburan Natal 2008 dan Tahun Baru 2009. Dan kamera yang saya gunakan dalam pelajaran fotografi kemarin adalah benda warisan terakhir kakek saya yang diberikan kepada saya dan hasil fotonya memang sangat memuaskan. Terima kasih Engkong.

Akhirnya saya dan Bapak Suparto Brata sepakat untuk bekerja sama dan kita akan saling membantu dalam setiap usaha kita masing-masing. Kami mulai merencanakan agenda kami melalui e-mail dan menyusun beberapa pertemuan untuk saling mengenal dan berbagi informasi serta data-data yang saya perlukan. Bapak ini selalu sabar dalam membantu saya dan tidak pernah merasa terganggu dengan setiap kedatangan saya, bahkan ia selalu menyambut kedatangan saya dengan senang hati termasuk keluarganya inilah yang memudahkan pekerjaan saya. Ini juga mungkin karena Bapak ini sudah sangat sering dikunjungi oleh banyak orang dari mana saja baik dari pelajar, wartawan atau bahkan dari penggemar buku-bukunya. Pada saat saya menulis ini Bapak sedang menemani tamu yang berasal dari Australia (Mr. Keith Foulcher) di Kampus Unair.

Banyak hal yang bisa saya dapat dari Bapak Suparto Brata seperti jiwa sosialnya yang tinggi, kecintaan dan konsistensinya yang tinggi dalam perjuangannya terhadap sejarah dan karya sastra terutama sastra Jawa, mampu mengubah daya pikir sosial ke arah yang lebih baik, mendapatkan pengakuan dari publik atas perjuangannya, ada wujud dan hasil karyanya yang banyak, serta mempunyai jaringan sosial yang tinggi dan seorang yang terus menyuarakan kepada generasi muda untuk terus mencintai sejarah dan kebudayaan Bangsa Indonesia.
Saya rasa pertemuan saya dengan Bapak Suparto Brata bukan suatu kebetulan dan saya juga berterima kasih atas anugrah dan kasih karunia Tuhan Yesus. Saya percaya Tuhan yang merencanakan semuanya ini, karena bagaimana mungkin begitu banyak kebetulan dan kesamaan pengalaman saya yang juga mirip dengan kisahnya. Terima kasih Tuhan yang telah membantu dan memampukan tugas saya ini.



Saya percaya pertemuan saya dengan Bapak Suparto Brata bukan suatu kebetulan dan saya juga berterima kasih atas anugerah dan kasih karunia Tuhan yang telah membantu saya dalam menemukan seorang tokoh Suparto Brata yang sangat menginspirasi bagi generasi muda dan telah memberikan yang terbaik. Thank’s GOD!



1 comments:

Anonymous said...

memang ok

Post a Comment

 

Template by NdyTeeN